Hidup fana adalah proses datang lewat kelahiran dan pulang lewat kematian. Hidup abadi adalah bagaimana kita memproses diri di hidup fana dan menjadikan cinta Allah selalu memeluk diri kita dikehidupan baka dan memberi kekuatan yang maksimal untuk menjalankan kehidupan fana. Untuk itu semua kita tidak perlu mengejar symbol-simbol tentang kealiman yang kadang-kadang bisa menyeret dari pada kemunafikan. Siapa saja punya hak menerima cinta Allah dan Allah tidak merasa perlu bagi yang menerima cintanya musti terlebih dahulu memiliki simbol-simbol tentang kealiman yang dipahami masyarakat luas.
Menurut pemahaman kapitalis;kecendrungan manusia adalah individual dan mengapa manusia bersosial pada hakekatnya demi keselamatan individunya. Pemahaman pragmatis yang sesungguhnya meyeret manusia pada sikap egois,anti social dan bisa-bisa mengunakan dogma-dogma agama untuk pemuasan ego yang sangat beroriantasi pada ego sektoral individu. Pemahaman seperti ini pada dasarnya sudah masuk kemana-mana didalam masyarakat kita yang telah terlanjur kita beri label masyarakat islam. Naif, salah kaprah yang hampir semua orang tidak berani mengoreksinya.
Masyarakat yang biasa menyebut dirinya masyarakat islam dan berkata memperjuangkan islam sering berteriak lantang tentang kebenaran Allah. Mengunakan kekuatan-kekuatan fisik yang heroik menegakkan kebenaran dan menumpasnya, tapi sayang tidak pernah atau belum berhasil menumpas keakar-akarnya. Kegagalan mereka menyelesaikan persoalan sering ditutupi lagi dengan alasan dogma-dogma agama, sehingga mereka nyaman lagi menerima kegagalan mereka, padahal mereka sebenarnya belum bersungguh-sungguh memperjuangkanya.
Romantisme islam sesungguhnya adalah kelembutan, kasih, mencintai, santun, memelihara, dan saling menghormati. Islam jauh dari kekerasan, caci maki, dan mendzolimi. Konsep hukuman dalam islam masih dalam bingkai cinta kasih antara sesama yang memberikan penyadaran,bukan melahirkan dendam-dendam. Sayang,dalam konsep realitas dalam masyarakat konsep ideal yang diperjuangkan masih sering diselimuti insting primitive penjajahan bagi pelaksananya,dan cendrung menjadi sifat universal dalam masyarakat. Melemparkan cacian dan menvonis kepada orang-orang yang menurut mereka pantas dimusuhi sebuah langkah efektif untuk mengatasi persoalan dan merasa mereka sudah ikut memperjuangkan islam. Syukur,mereka bisa berubah dengan cara-cara tersebut,kalau tidak,apa kita tidak ikut menanggung dosa dari akibat buruk yang lebih parah lagi dosa yang mereka perbuat. Fenomena seperti ini terlalu banyak disekitar kita dan membutuhkan energi lebih merubah arah pandang yang seperti ini.
Ditulis dalam Buku-buku Lemlit
Sumber: malay culture 16 April 2010
Implementasi Peraturan Nagari Mungka Kabupaten Limapuluh Kota Nomor 02 Tahun 2002 tentang Penyakit Masyarakat
oleh Abrar, M.Ag
Berdasarkan data dan analisis peneliti tentang Efektifitas peraturan Nagari Mungka Nomor 02 Tahun 2002 tentang Masyarakat dapat disimpulkan:
Pertama, PERNA dalam konteks materinya tidak menggambarkan munculnya proses otonomisasi, dimana masyarakat tidak dilibatkan secara aktif dalam proses pembuatannya. PERNA hanyalah sebuah proses replikasi dari hukum Negara yang lebih besar.
Kedua, sanksi yang terdapat dalam PERNA lebih mengacu pada bentuk material dan hukum formal negara, sehingga tujuan sanksi tidak mencapai sasaran; yaitu lahirnya proses kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh keringnya hukum formal / negara dari semangat budaya dan religiuitas.
Ketiga, Institusi sosial Nagari Mungka yang pada dasarnya merupakan kekuatan local, ternyata tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga peran-peran niniak mamak, ulama dan lain sebagainya kemudian direduksi oleh pemerintah nagari sebagai bahagian dari negara. Meskipun secara struktural ninik mamak dilibatakan dalam proses penyelesaian kasus-¬kasus, akan tetapi mereka hanya sebagai ornament tidak lebih dari sekedar suplemen, dia ada tetapi tidak diberikan otoritas. Dalam bahasa lain inilah yang disebut dengan proses nominalisasi.
Keempat, Dilihat dari kekuatannya, PERNA berjalan disebabkan oleh adanya sanksi yang mengacu pada hukum negara. yaitu polisi dan kekuatan Parik Paga Nagari sebagai alat yang mengontrol tingkah laku masyarakat, bukan berdasarkan pada kesadaran kultural dan nilai-nilai yang hidup dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat.
Berdasarkan empat point diatas, maka PERNA ini sejatinya belum mencapai sasaran, yaitu menciptakan tingkat kesadaran masyarakat, karena PERNA dirancang, dirumuskan, dibuat dan diterapkan tidak berdasarkan partisipasi sosial interpersonal trust, modal sosial yang menjadi wujud dari kearifan lokal anak nagari. Atas dasar itu PERNA tidak lebih dari sebuah proses replikasi dan etatisasi terhadap kekuatan kultural.
Ditulis dalam Buku-buku Lemlit
Sumber: malay culture 16 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar